Bisnis.com, JAKARTA–Asuransi mikro dianggap tak menguntungkan. Kenyataannya, mayoritas penduduk Indonesia yang merupakan rakyat kecil dianggap membutuhkan perlindungan jenis ini. Maka perlukah regulator mewajibkan penjualan asuransi mikro kepada setiap perusahaan?
Afrizal, seorang pengusaha yang fokus pada produksi pakaian dalam wanita memulai usahanya dengan meminjam sejumlah uang di sebuah bank perkreditan rakyat (BPR). Saat pinjaman disetujui, dia tahu bahwa ada beban biaya asuransi dalam setiap cicilan yang dibayarnya.
“Saya tahu dan memang setuju. Saya tidak mau membebani istri dan keluarga kalau nanti saya mati sebelum utang saya lunas,” ujarnya.
Afrizal barangkali salah satu dari masyarakat yang sangat sedikit paham akan pentingnya membeli perlindungan. Baginya, asuransi jiwa merupakan kebutuhan sebab dia memahami prinsip dan manfaat asuransi. Kendati level perlindungan yang dibelinya masih dalam skala level mikro, namun Afrizal mendapatkan ketenangan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator yang juga mengawasi industri asuransi telah memberi perhatian lebih kepada asuransi mikro dalam tiga tahun terakhir. Menjelang akhir 2013, OJK telah meluncurkan grand design asuransi mikro yang berisi definisi, karakteristik, jalur distribusi, dan lain sebagainya.
Asuransi mikro dideskripsikan sebagai produk asuransi yang menyasar masyarakat berpenghasilan rendah. Karakteristik produk asuransi mikro dirincikan harus memiliki sistem administrasi yang sederhana, mudah diakses, ekonomis, dan proses pencairan klaim maksimal 10 hari sejak dokumen pengajuan klaim dinyatakan lengkap.
Asuransi mikro boleh dijual oleh perusahaan asuransi jiwa maupun umum, dengan cara konvensional ataupun syariah. Penjualan boleh dilakukan melalui rekanan, lembaga keuangan mikro, dan peritel.
Besaran premi dan klaim pun ikut diatur oleh OJK. Dalam grand design itu, OJK menyebutkan premi maksimal Rp50.000 dengan besaran klaim maksiman Rp50 juta.
Hampir dua tahun berjalan, perusahaan asuransi yang serius menjual produk asuransi mikro terbilang tidak banyak.
Direktur Industri Keuangan Non Bank Syariah OJK Moch Muchlasin hanya menyebutkan sekitar tiga atau empat perusahaan yang dianggapnya serius menggarap produk mikro.
Asuransi Mikro Bersama yang dicanangkan oleh ketiga asosiasi asuransi juga berlarut-larut. Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI) awalnya menargetkan bisa memasarkan produk asuransi mikro bersama ini mulai Juni tahun lalu. Sementara Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) memasang target Maret tahun lalu.
Namun, setelah berganti tahun, produk asuransi mikro tersebut tak kunjung dipasarkan. Beberapa waktu lalu, kedua asosiasi itu menjanjikan akan meluncurkan produk mikro bersamanya pada Februari.
Saat ini, hanya Asosiasi Asuransi Syariah Indonesia (AASI) yang sudah memasarkan produknya. Produk mikro tersebut diberi nama ‘si Bijak’. ‘Si Bijak’ ini merupakan gabungan antara produk asuransi jiwa syariah dan asuransi umum syariah.
Penjualan produk tersebut dilakukan secara bersama-sama, melalui Konsorsium Asuransi Mikro Syariah (KAMS) yang terdiri dari 28 perusahaan atau unit syariah.
TIDAK MENARIK
Asuransi mikro memang tidak menarik perhatian para pelaku industri, sebab produk ini dinilai tidak menguntungkan. Bayangkan, preminya saja hanya Rp50.000 per tahun, bandingkan dengan sejumlah produk asuransi lainnya.
Head of Emerging Consumers Business Allianz Life Indonesia Edi Yoga Prasetyo mengamini bahwa kalau dilihat dari segi nilai uang, asuransi mikro memang tidak menguntungkan. Sampai November tahun lalu, jumlah nasabah mikro Allianz mencapai 3,6 juta.
Premi yang berhasil dikumpulkan dari total nasabah itu senilai Rp22 miliar, namun klaim yang dibayarkan senilai Rp16 miliar. “Kalau dipotong biaya operasional dan lain-lain, marginnya memang sangat tipis,” ungkapnya.
Maka menjadi wajar jika banyak perusahaan asuransi yang tidak tertarik. Namun, apa yang bisa dilakukan pemerintah dan regulator agar rakyat kecil juga bisa menikmati produk asuransi?
Freddy Pieloor, salah satu pendiri Komunitas Penulis AsuransiIndonesia yang beberapa waktu lalu berbicara dalam seminar bertajuk Peluang dan Tantangan AsuransiMikro di Era Perdagangan Bebas ASEAN, menyatakan OJK harus mewajibkan perusahaan asuransi menjual asuransi mikro.
“Dari segi premi, asuransi mikro ini tidak begitu menguntungkan. Kalau tidak diwajibkan, perusahaan asuransi swasta akan lebih tertarik pada nasabah kaya,” ungkapnya waktu itu.
Dia menjelaskan, produk mikro yang dijual oleh perusahaan asuransi harus satu nama untuk satu jenis produk yang sama. Produk yang sama itu, sambung Freddy, harus dijual seluruh perusahaan asuransi.
Menurutnya, OJK juga harus membentuk satu divisi khusus yang menangani asuransi mikro. “Seluruh perusahaan asuransi nantinya diwajibkan membuat laporan khusus asuransi mikro,” ungkapnya.
Akan tetapi, OJK tidak lantas setuju dengan pendapat itu. Muchlasin mengatakan OJK tidak akan mewajibkan asuransi mikro dalam waktu dekat. Dalam kurun 3-5 tahun ke depan, pihaknya akan melakukan persuasi dalam bentuk imbauan.
Alasannya cukup masuk akal, OJK menginginkan perusahaan asuransi memiliki inisiatif untuk memasarkan asuransi mikro, bukan karena takut akan hukuman regulator. “Opsi mewajibkan pasti ada, tetapi saat ini langkah kami persuasi dulu,” katanya.
Dia menyebutkan, saat ini ada beberapa perusahaan asuransi yang serius menggarap mikro. Menurutnya, kalau perusahaan-perusahaan itu mampu meraup untung signifikan, perusahaan lain akan mengekor.
Dia mencontohkan produk unit link yang pada awalnya tidak diminati perusahaan asuransi di Indonesia tetapi sekarang begitu digandrungi. Kendati sebenarnya, membandingkan produk mikro dengan unit link agak kurang tepat. Unit link jelas menguntungkan karena preminya jauh di atas Rp50 ribu.
Terlebih, unit link menyasar masyarakat menengah ke atas yang kebanyakan sudah paham asuransi dan investasi. Berbeda dengan dengan asuransi mikro yang membutuhkan usaha ekstra hanya untuk mengenalkannya kepada rakyat kecil.
Muchlasin menjelaskan, ada banyak pendapat dan masukan yang diterima OJK terkait asuransi mikro. Beberapa pendapat mengatakan harus diwajibkan, ada juga yang bilang tidak harus diwajibkan. OJK kemudian mengambil langkah persuasi terlebih dahulu dan enggan terburu-buru mewajibkan.
“Nanti kalau beberapa tahun tetap tidak jalan, mungkin harus diwajibkan. Tetapi kami menginginkan adanya kesadaran,” imbuhnya.
Namun mengapa harus menunggu beberapa tahun kalau memang opsi mewajibkan itu ada? Bagaimana jika kesadaran itu tak kunjung muncul? Atau kalaupun ada, hanya sekadar menjual saja, tanpa diiringi penyuluhan guna memberi pemahaman dan pengenalan? Bagaimana jika perusahaan asuransi terlena dan hanya fokus pada nasabah kaya, dan rakyat kecil hanya bisa menunggu saja.
Haruskah Pebisnis Dipaksa Jual Asuransi Mikro?
No comments:
Post a Comment