Jakarta -Pemerintah melarang penggunaan alat tangkap cantrang untuk kapal berukuran di atas 30 Gross Ton (GT). Namun kenyataan yang terjadi di lapangan, masih banyak kapal nakal yang menurunkan (marked down) dari di atas 30 GT menjadi di bawah 30 GT agar bisa menggunakan alat ini.
Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Gellwyn Yusuf menuturkan, pada 2007 jumlah kapal yang menggunakan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan tersebut mencapai 5.100 unit. Namun jumlah tersebut naik menjadi 10.758 unit pada 2015.
Gellwyn menuturkan, kapal-kapal tersebut umumnya berada di kawasan Jawa Tengah. Berdasarkan hasil uji petik yang dilakukan pemerintah di kawasan Tegal, Pati, dan Rembang, terjadi pelanggaran berupa pengecilan ukuran kapal.
”Secara kasar hitung-hitungannya itu bisa saja 80% dari kapal atau 100% semuanya adalah kapal yang diturunkan ukurannya,” kata Gellwyn saat konferensi pers di kantor KKP, Jakarta, Minggu (22/2/2015).
Karena adanya pelanggaran tersebut, lanjut Gellwyn, negara mengalami kerugian dari hilangnya potensi pendapatan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari kapal berukuran di atas 30 GT. Sedangkan kapal di bawah 30 GT tidak dibebankan PNBP, melainkan hanya setoran ke daerah.
“Kalau berandai-andai, kondisi 10.000 kapal, 80%-nya adalah 8.000. Dikalikan Rp 20 juta jadi sekitar Rp 160 miliar. Itu hitungan kasarnya,” kata Gellwyn.
Pemerintah melarang penggunaan alat tangkap berupa cantrang karena merusak lingkungan laut dan bibit ikan-ikan kecil. Aturan tersebut sebetulnya sudah berlaku pada era 1980-an, dan diteruskan melalui Keputusan Dirjen Perikanan No IK.340/DJ.10106/97.
Penggunaan alat tangkap ini menurunkan produksi ikan. Buktinya pada 2002 produksi ikan mencapai 281.267 ton, tetapi turun menjadi 153.698 ton pada 2007.
“Situasi tersebut juga berdampak pada penurunan sumber daya ikan sebanyak 50%,” tutur Gellwyn.
(zul/hds)
Kecurangan Pemilik Kapal Penangkap Ikan Bikin Negara Rugi Rp 160 Miliar
No comments:
Post a Comment