Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, utopia dimaknai sebagai sistem sosial politik yang sempurna yang hanya ada dalam bayangan (khayalan) dan sulit diwujudkan dalam kenyataan.
Makanya, orang yang suka mengkhayal tinggi-tinggi, atau suka bermimpi setinggi langit, sering disebut utopis. Mengkhayal yang bukan-bukan. Mungkin seperti PHP alias pemberi harapan palsu, kata ABG alias anak baru gede.
Tetapi tidak begitu untuk yang satu ini. Utopia justru dimaknai sebagai mimpi yang bakal jadi kenyataan. Bolehlah saya ambil contoh Korea Telekom, perusahaan telekomunikasi Korea Selatan.
Di Barcelona, Korea Telekom memasang tagline besar di arena pameran Mobile World Congress 2015. Hanya satu kata: Gigatopia.
Kata yang merupakan kombinasi dari “giga” dan “utopia” itu mencolok mata, seiring dengan mimpi Korea Telekom mempercepat teknologi jaringan seluler generasi kelima atau 5G.
Maka, kalau di Jakarta kita baru mencicipi teknologi 4G dari sejumlah operator seluler, termasuk Telkomsel, Korea sudah bergerak ke depan.
Mungkin mudahnya begini: kalau pada teknologi 4G Anda bisa berselancar menikmati multimedia dengan akses cepat bebas interupsi alias anti-lemot, maka pada teknologi 5G bukan sekedar bebas lemot, tetapi bahkan akses supercepat, yang bisa menampilkan hologram dalam gadget smartphone Anda. Apabila teknologi 4G menyediakan solusi komprehensif, dari suara, data, dan arus multimedia, maka teknologi 5G akan melipatgandakannya.
Dan Korea Telekom saat ini mengembangkan prototipe teknologi yang mampu menampilkan hologram dari layar smartphone, seolah kita berhadapan langsung secara fisik saat berkomunikasi dengan lawan bicara, bukan sekadar melihat wajah di layar ponsel kita.
Dengan kata lain, teknologi 5G memungkinkan kita bukan sekadar kita bisa melihat film secara streaming tanpa terputus, tetapi bahkan seperti melihat panggung pertunjukan di atas (di luar) telepon pintar kita.
Nah, untuk memungkinkan hal itu terjadi, kecepatan akses sambungan Internet sudah harus sangat tinggi. Seperti proyek Korea, kecepatan akses Internet untuk memungkinkan hal itu harus dicapai sedikitnya 7,55 Gigabytes per second.
Korea Telekom menargetkan proyek percepatan teknologi 5G yang disebutnya dengan Gigatopia, yang saya pinjam sebagai judul tulisan ini, bisa dipakai pada 2018 mendatang. Hanya tiga tahun dari sekarang!
***
Mimpi Korea Telepon tampaknya hanya salah satu contoh dari banyak contoh lain, di mana saat ini Internet sudah merasuk ke dalam seluruh kehidupan kita. Kalau belakangan –baru saja– Internet memungkinkan layanan konten yang disebut OTT atau Over the Top, kini secara cepat bergerak menuju IOT atau Internet of Things.
Konten yang biasa masuk kelompok OTT antara lain audio-video, news, conference, data center, cloud services, networking services, games, mobile messaging dan lainnya. Penyedia yang kita tahu selama ini antara lain Google, Yahoo, Facebook, Twitter, iTunes, Whatsapp dan banyak lagi yang lain.
Maka, tidak sebatas untuk konsumsi data dan informasi, sharing ideas ataupun layanan multimedia, kini Internet merangsek ke dalam nyaris semua hal kehidupan manusia. Makanya disebut Internet of Things.
Jadi jangan heran manakala saat ini mulai muncul banyak produk dan layanan berbasis Internet yang melayani segala keperluan manusia. Tidak hanya untuk informasi dan komunikasi, tetapi juga bahkan untuk kebutuhan transportasi, penyediaan jasa smart city, bahkan hingga pengendalian evakuasi bencana dari jarak jauh!
Jangan mengira itu cuma bualan para penggiat teknologi semata. Di pameran MWC 2015, misalnya, saya mencoba sebuah mesin pengendali virtual melalui akses Internet berkecepatan tinggi untuk melakukan pembersihan puing tanah dengan peralatan ekskavator di Eskilstuna, kota di Swedia bagian utara.
Silahkan membayangkan, dari Barcelona yang berjarak 2.500 km lebih dengan Eskilstuna, saya bisa mengendalikan ekskavator dengan bantuan Internet berkecepatan supertinggi, dibalut teknologi “remote control over mobile network”. Proyek ini adalah kerjasama Ericsson dengan Volvo, yang prototipe-nya dipamerkan di Barcelona.
Tentu bukan cuma itu. Ada lagi mesin pembuat minuman isntan, yang dinamai Costa Express. Mesin pembuat kopi itu adalah buatan Ferari, yang mampu menyediakan 300 flavor kopi, coklat atau teh, dan dengan suasana seperti di dalam bar!
Tak perlu heran, Ferari di sini memang salah satu merek mobil balap yang terkenal. Dan kopi atau coklat buatan mesin itu, pinjam istilah Bondan Winarno, maknyuss. Saya pun ketagihan untuk mencoba coklat panas dengan rasa (flavor) hazelnut bikinan si Costa Express.
Asal tahu, mesin Costa Express itu diberdayakan dengan teknologi Internet dari Intel yang mengendalikan sistem operasinya.
Dua contoh itu saja cukup mewakili banyak hal lain, di mana kehidupan manusia sudah “dijajah” Internet.
***
IOT memungkinkan teknologi menjadi lebih humanis. “Ini teknologi yang ada hati dan emosi,” kata Ricky Tanudibrata, Chief Marketing Officer Evercoss saat mencoba kopi bikinan Costa Express.
Tidak cuma itu, teknologi dengan pemberdayaan melalui Internet, ternyata juga berpeluang besar menjadi agen sosial. Contohnya adalah pengendali jauh berbasis Internet yang saya coba untuk mengendalikan ekskavator di Eskilstuna sangat memungkinkan dipakai untuk penanganan bencana di tempat-tempat yang berisiko tanpa perlu menghadirkan manusia.
Maka tak heran, di era IOT dewasa ini, semua pemain teknologi mobile berlomba-lomba balapan dengan masa depan.
Sebutlah Huawei, salah satu vendor seluler terbesar di dunia yang berasal dari China, yang memasok kebutuhan jaringan Telkomsel dan banyak operator lain di Indonesia, memasang tagline “make it possible”. Membuat segalanya mungkin.
Vendor teknologi lainnya asal China, ZTE, tak kalah dengan tagline yang provokatif: tomorrow never waits. Kurang lebih, kalimat itu bermakna, mengapa harus menunggu esok?
Sedangkan Qualcomm dengan tangkas mempertanyakan melalui taglinenya: Why wait? Mengapa harus menunggu?
Maka, dari sisi pengguna, macam filosofi yang dipakai Ford, salah satu mobil besutan Amerika, Internet memungkinkan mobilitas personal yang tidak hanya cepat, melainkan juga fun dan fleksibel.
***
Maka tak heran, ajang pameran teknologi mobile seperti MWC yang digelar secara tahunan di Barcelona menjadi banjir pengunjung luar biasa.
Acara yang berlangsunng 2-5 Maret 2015 di jantung kota yang menjadi basis Lionel Messi, penyerang revolusioner dari klub sepakbola FC Barcelona itu begitu hingar dengan praktisi sluler dari seluruh jagat.
Bahkan, pass masuk ke exhibition pun dijual Rp16 juta per pengunjung, dan untuk bisa memperoleh akses gold yang bisa msuk ke seluruh aktivitas MWC mulai dari seminar, pameran dan networking, pengunjung harus merogoh hingga Rp75 juta sekali event berlangsung.
Tentu, angka itu di luar sponsorship, maupun untuk aktivitas lain seperti biaya registrasi apabila hendak turut serta dalam ajang mobile awarding.
Menurut Ririek Ardiansyah, Dirut PT Telkomsel, keikutsertaan ke World Mobile Congress 2015 memperkokoh keyakinan akan perkembangan teknologi seluler terbaru, sekaligus memperkuat networking global. Dan saya yakin, banyak pemimpin industri seluler dunia berpandangan seperti Ririek.
Maka, Barcelona tidak saja dituju banyak penggiat bisnis seluler, tetapi menawarkan magnet yang luar biasa untuk turis yang berkantong tebal. Restoran terkenal yang jualan paha kambing muda, Asador de Aranda, bahkan sudah fully booked sebulan sebelum perhelatan berlangsung.
Sampai di sini, Gigatopia sudah menjadi kenyataan. Nah, bagaimana menurut Anda?
GIGATOPIA!
No comments:
Post a Comment