Jakarta -Wilayah Jambi, Bengkulu, Sumatera Selatan, dan Lampung dianggap sebagai pemasok utama daging celeng ilegal ke Pulau Jawa, khususnya Jakarta. Daging celeng ini berasal dari berbagai aktivitas seperti perburuan, pemberantas hama di perkebunan sawit dan lainnya.
Kepala Sub Humas Badan Karantina Pertanian, Kementerian Pertanian Arief Cahyono mengatakan memang tak ada data pasti soal sumber-sumber daging celeng ini. Namun menurut data yang ia ketahui dari rekannya yang melakukan penelitian soal daging celeng, konsumsi daging ini sudah hal biasa bagi kelompok masyarakat tertentu di Sumatera.
“Setahu saya memang menjadi hama sehingga diburu, ada juga tradisi adu bagong maka ditangkap lah babi hutan. Sehingga bisa jadi dikumpulkan oleh pengepul,” kata Arief kepada detikFinance, Rabu (2/7/2014)
Menurutnya, sumber daging celeng dari hasil perburuan oleh masyarakat, termasuk daging celeng dari pemberantasan hama di perkebunan kelapa sawit secara langsung menjadi ladang bisnis yang menggiurkan.
Ia mengilustrasikan harga daging celeng di tingkat pengepul hanya Rp 5.000-7.000 per kg. Namun ketika sudah sampai di Jakarta harganya bisa mencapai 10 kali lipat sekitar Rp 60.000 per kg.
“Memang banyak benar untungnya, hitungan kita di 2013 hampir setengah miliar rupiah, dari tangkapan 11 ton (2013) setara Rp 400 jutaan, dengan asumsi harga daging Rp 40.000 per kg, hampir setengah miliar rupiah,” katanya.
Menurutnya bisnis daging celeng asalkan legal tak masalah. Asalkan pedagang daging celeng harus memenuhi kaidah karantina, kaidah kesehatan produk, Standar Nasional Indonesia (SNI) daging, kaidah perlidungan konsumen dan lain-lain.
“Daging babi hutan belum diatur bagaimana standar, jadi ini masih abu-abu,” katanya.
(wij/hen)
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.detik.com dan aplikasi detikcom untuk BlackBerry, Android, iOS & Windows Phone. Install sekarang!
Sumber-sumber Daging Celeng di Sumatera, dari Pemburu Hingga Pemberantas Hama
No comments:
Post a Comment