Thursday, June 26, 2014

TAJUK BISNIS: Industri Butuh Perhatian Pemerintah





 Industri manufaktur di dalam negeri seolah tak henti didera berbagai tekanan eksternal./Reuters











Industri manufaktur di dalam negeri seolah tak henti didera berbagai tekanan eksternal. Setelah pada awal tahun harus menghadapi tekanan buruh yang menuntut penaikan upah minimum di tengah penurunan permintaan di pasar global, kini pelemahan rupiah yang menembus Rp12.000 per dolar AS menjadi beban tambahan yang harus dipikul.


Pelemahan rupiah menjadi problem besar bagi sektor industri karena sebagian besar bahan baku produksi dan bahan penolong serta barang modal masih harus didatangkan dari luar negeri.


Padahal, pada saat yang sama berbagai problem klasik masih terus melilit industri manufaktur seperti biaya logistik yang tinggi, pungutan liar di pelabuhan dan jalan raya yang belum bisa diberantas habis, serta bunga bank yang mahal.


Belum lagi faktor penyelundupan barang impor yang masih marak dan mendistorsi pasar sehingga memicu persaingan tidak sehat yang merugikan industri lokal.


Kompleksitas problem yang dihadapi industri manufaktur tersebut pada akhirnya bermuara pada melemahnya daya saing yang berujung pada penurunan kinerja produksi di berbagai sektor.


Pelemahan kinerja ini terlihat dari data Badan Pusat Statistik dan Kementerian Perindustrian yang menyebutkan terjadinya penurunan kapasitas produksi terpakai (utilisasi) secara signifikan pada sepanjang kuartal I/2014.


Beberapa sektor penting yang selama ini diandalkan untuk menarik investasi besar dan menyerap tenaga kerja seperti industri besi dan baja serta petrokimia pada periode tersebut hanya memiliki tingkat utilitas rerata 60%-70%. Industri lainnya, yakni sektor permesinan, utilisasinya juga belum optimal dan hanya berada pada kisaran 55%.


Dengan tingkat utilitas yang rendah ini, biaya produksi per unit menjadi lebih mahal sehingga sulit bersaing dengan produk serupa dari negara lain, baik di pasar domestik maupun ekspor.
Semua kondisi tersebut telah memaksa Kementerian Perindustrian menurunkan target pertumbuhan industri tahun ini menjadi hanya 6,15% dari semula 6,4%-6,8%.


Tingkat utilitas yang rendah tadi merupakan data statistik untuk periode kuartal I/2014, yang bukan tidak mungkin akan semakin
memburuk pada kuartal dan semester berikutnya jika tidak ada upaya yang serius dari pemerintah untuk membantu memperbaiki kinerja industri nasional.


Memasuki semester II, kinerja industri sudah pasti akan menghadapi kenaikan biaya produksi seiring dengan kebijakan pemerintah yang menaikkan tarif listrik industri secara otomatis tiap 2 bulan sekali mulai 1 Juli hingga November 2014.
Penaikan tarif listrik untuk golongan industri ini sudah barang tentu akan semakin menekan daya saing karena harga produk menjadi lebih mahal. Pada saat yang sama, daya beli konsumen di dalam negeri menyusut karena tarif listrik untuk golongan rumah tangga juga dinaikkan.


Dengan problem yang cukup kompleks tersebut, seharusnya Kementerian Perindustrian mulai menyiapkan terobosan kebijakan untuk membantu menjaga kinerja industri.
Menteri Perindustrian harus berinisiatif melakukan pembicaraan dengan kementerian/instansi terkait untuk menyiapkan kebijakan penyelamatan industri, termasuk kemungkinan memberikan stimulus.


Dalam kondisi perekonomian yang lesu seperti sekarang, sudah selayaknya pemerintah memberikan stimulus atau insentif kepada sektor-sektor usaha penting yang terdampak cukup serius.


Janganlah pengusaha manufaktur dibiarkan bergulat sendiri mengatasi berbagai tekanan eksternal tanpa ada campur tangan
pemerintah. Sebab, jika problem yang dihadapi terlalu sulit diatasi, bukan tidak mungkin para industriawan beralih menjadi pedagang atau importir yang jauh lebih menguntungkan dengan risiko kecil.


Tentunya, pemerintah tidak menginginkan industri nasional mengalami deindustrialisasi yakni kemerosotan yang signifikan dalam kontribusi terhadap PDB. Apabila sampai terjadi deindustrialisasi, sektor industri manufaktur takmungkin lagi dapat diandalkan untuk menyerap tenaga kerja dan menopang pertumbuhan ekonomi seperti selama ini.



Source : Bisnis Indonesia Edisi 27/6/2014





Editor : Setyardi Widodo






















Obral Gede-gedean HUT ke-487 Jakarta. Nyok, langganan seumur hidup ePaper Bisnis Indonesia cuma Rp10 juta, hanya sampai 30 Juni 2014. Klik DI SINI!





TAJUK BISNIS: Industri Butuh Perhatian Pemerintah

No comments:

Post a Comment